Selasa, Mei 29

Sunat pada Anak Perempuan (FGM/Female Genital Mutilation)


Sunat pada Anak Perempuan (FGM/Female Genital Mutilation)
2.2.1.   Pengertian
Definisi FGM meliputi seluruh prosedur pemotongan sebagian atau seluruh genitalia eksternal atau bentuk perlukaan lain pada genitalia perempuan, baik untuk alasan budaya maupun alasan non pengobatan (WHO, 1998). Perubahan bahasa dari sunat perempuan menjadi FGM dimasukkan pada resolusi ke 46 World Health Assembly (WHA 46:16) sebagai perubahan yang menjadi sunat perempuan dalam isu hak asasi manusia (WHO, 1998). Resolusi tersebut memaksa negara-negara yang terkait untuk secara terus menerus memonitor upaya mereka dalam penghapusan segala bentuk FGM, karena tidak dapat diterima dengan cara pandang apapun (WHO, 1997). (Kariem E. Z, 2006).
Sunat atau khitan dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disempurnakan adalah pemotongan kulup (kulit pada ujung kemaluan laki-laki), sedangkan sunat untuk anak perempuan tidak disebutkan dalam kamus tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).
Khitan (berasal dari akar kata arab khatana-yakhtanu-khatnan = memotong). Secara terminologi pengertian khitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama fikih Mahzab Syafi’I, khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj yaitu kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd. Namun keduanya lazim disebut khitan (Ensiklopedi Hukum Islam, 1997).
Sunat atau khitan bagi perempuan dilakukan berbeda-beda, dapat hanya sebatas membasuh ujung klitoris, menusuk ujung klitoris dengan jarum, membuang sebagian klitoris, membuang seluruh klitoris dan membuang labia minora (bibir kecil vagina) serta seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh labia mayora (bibir luar vagina) dijahit, kecuali sebesar ujung kelingking untuk pembuangan darah menstruasi (Kariem E. Z, 2006).
 Gambar 2.1. Organ Reproduksi Wanita dan bagian-bagiannya

2.2.2.   Tipe-Tipe FGM
WHO mencatat ada 4 tipe female genital mutilation. Berdasarkan tingkat keparahan, ada empat jenis FGM (WHO, 1998) :
2.2.2.1. Tipe I (Clitoridotomy)
Yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris.  Dikenal juga dengan istilah “hoodectomy”.
2.2.2.2. Tipe II (Clitoridectomy)
Yaitu eksisi klitoris dengan disertai eksisi sebagian atau total dari labia minora. Tipe yang lebih ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.
2.2.2.3. Tipe III (Infundilation)
Yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Merupakan tipe terberat dari FGM. Dikenal juga (Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan Ala Fir’aun).
2.2.2.4. Tipe IV Tidak terklasifikasi
Termasuk di sini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan atau labia, meregangkan (stretching) klitoris dan atau vagina, kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya, menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis dan atau menyempit, serta berbagai macam tindakan yang sesuai dengan definisi FGM di atas (www.pdpersi.co.id, 2003).
Gambar 2.2. Tipe-tipe Sunat Perempuan
 2.2.3.   Komplikasi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya komplikasi yang mungkin timbul akibat  tindakan sunat pada perempuan (IPPF, 2001) adalah:
2.2.3.1.       Komplikasi Jangka Pendek
Komplikasi yang bisa segera terjadi adalah nyeri berat, syok (kesakitan karena tanpa anestesi atau perdarahan), perdarahan, tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya. Perdarahan massif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis.
2.2.3.2.  Komplikasi Jangka Panjang
Dampak jangka panjang termasuk timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat serta kesulitan saat melahirkan.
1.         Nyeri berkepanjangan
2.         Kesulitan atau gangguan menstruasi
3.         Infeksi saluran kemih kronis
4.         Fistula (vesico-vagina, recto-vagina)
5.         Inkontinensi (beser)
6.         Radang panggul kronis
7.         Kemandulan disfungsi seksual
8.         Kesulitan saat hamil dan bersalin
9.         Meningkatkan resiko tertular HIV
2.2.3.3.  Dampak Psikoseksual, Psikologis dan Sosial
Komplikasi psikologis dapat terpendam pada alam bawah sadar anak yang bisa menimbulkan gangguan perilaku. Dari sisi psikologi dan psikologi seksual, sunat dapat meninggalkan dampak seumur hidup. Hilangnya kepercayaan dan rasa percaya diri dilaporkan sebagai efek serius yang bisa terjadi. Perempuan dapat mengalami depresi, rasa sakit saat hubungan seksual, disfungsi seksual, ketegangan, serta rasa rendah diri dan tidak sempurna.
1.         Syok akibat kehilangan darah
2.         Trauma dari bagian-bagian seputar alat reproduksi
3.         Mengurangi kenikmatan seksual
Nawal El-Saadawi, dokter feminis Muslim dari Mesir yang menjadi korban infibulasi, dalam bukunya “The Hidden Face of Eve: Women in the Arab World”, mengkaitkan sunat dengan anggapan masyarakat tentang pentingnya keperawanan dan utuhnya selaput dara. Dia membandingkan sunat perempuan dengan kastrasi atau pengebirian para kasim penjaga harem, yang membuat mereka tidak memiliki gairah seks.
4.         Gangguan psikosomatik (ketakutan, sulit tidur, gangguan konsentrasi, cepat panik, takut berhubungan seksual atau frigidity)
5.         Konflik dalam perkawinan
Berbeda dengan anak laki-laki, sunat pada anak perempuan terbukti tidak ada manfaatnya secara medis. (Tempo Interaktif, 22 Oktober 2006).

2.2.4.   Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan
WHO membedakan alasan pelaksanaan FGM menjadi 5 kelompok, yaitu :
2.2.4.1.    Psikoseksual
Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki.
2.2.4.2.  Psikologi
Sunat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, guna mengurangi gairah seks perempuan, menjaga keperawanan sebelum menikah, dan agar tetap setia dalam pernikahan.
2.2.4.3.      Sosiologi
Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial, lebih terhormat.
2.2.4.4.    Hygiene dan estetik
Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan.

2.2.4.5.    Mitos
Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak.
2.2.4.6.   Agama
Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadah lebih diterima (www.pdpersi.co.id, 2003).
2.2.5.   Aspek-aspek dalam Sunat Perempuan
Dalam sunat perempuan terdapat aspek-aspek yang berhubungan antara lain:
2.2.5.1.  Ditinjau dari Aspek Kesehatan
Dari aspek kesehatan, sunat perempuan apabila dilakukan berlebihan akan mengandung resiko seperti sayatan, goresan, dan pemotongan sebagian ataupun seluruh ujung klitoris. Apalagi hal ini dilakukan oleh dukun atau bidan tradisional. Disamping itu sunat perempuan dilakukan bila anak masih bayi, karena bila sunat dilakukan ketika anak sudah besar misalnya berumur 9 tahun selain berbahaya dari segi kesehatan, juga dapat mendatangkan ketakutan.
Hal tersebut dibuktikan pada sunat perempuan di kawasan Afrika yang menjadi perdebatan aktivis dan tenaga medis di Afrika tahun 1960. Di kawasan itu sunat dilakukan dengan benar-benar memotong bagian genital perempuan, sehingga sering membuat mereka kehabisan darah, mengalami infeksi, infertile, terkena penyakit pembengkakkan, sakit saat melahirkan, tidak bisa mengontrol kencingnya, dan tidak bisa menikmati hubungan seksual. Bahkan dibeberapa negara tak sedikit yang mempraktekkan infibulasi, yaitu praktek memotong klitoris serta menjahit tepi-tepinya. Dengan menyisakan sedikit lubang untuk buang air dan haid. Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 28 juta perempuan Nigeria, 24 juta perempuan Mesir, 23 juta perempuan Ethiopia, dan 12 juta perempuan Sudan dengan sangat terpaksa telah menjalani sunat ini.
Selain itu pada Konferensi Perempuan ke empat di Beijing, 1995, juga akhirnya membahas secara formal isu ini. Menurut Basilica Dyah Putranti dari Center for Population and Policy Studies Universitas Gajah mada, konferensi itu menyimpulkan sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan dapat menjadi ancaman kesehatan reproduksi.
Sedangkan di Indonesia sunat perempuan baru menjadi isu dalam lima tahun terakhir. Dalam studi Schrieke pada 1921, sunat terjadi di Jawa, Makasar, Gorontalo, Pontianak, Lampung, Banjarmasin, Riau, Padang, Aceh Pulau Kei Ambon dan Pulau Alor, juga suku Sasak di Lombok. Sunat umumnya dilakukan secara rahasia pada usia sekitar 13 tahun, bahkan ketika anak baru lahir, atau perempuan muda yang belum menikah dan hamil (Koran Tempo, 11 Oktober 2006).
2.2.5.2.     Ditinjau dari Aspek Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya. Seperti tata cara, dalam hubungan dengan keluarga, kebiasaan, yang dilakukan dalam suatu hal yang ritual atau tata krama dan bahasa yang dipergunakan sehari-hari semuanya dipengaruhi oleh budaya (L. Tubbs dan Moss, 2001: 237).
Perbedaan antara dua kelompok berkisar pada perbedaan yang kecil hingga perbedaan yang besar. Seperti misalnya budaya orang-orang Eropa (Inggris) dengan budaya orang Afrika (Ethiopia, Sudan, Nigeria) sedikit saja persamaannya dengan budaya Asia (Indonesia, Beijing). Misalnya orang Indonesia, umumnya masyarakatnya melakukan sunat perempuan saat anak masih bayi secara simbolis (sesuai dengan tradisi masing-masing daerah dan berdasarkan agama yang diyakininya). Akan sama dengan orang-orang Sudan atau Nigeria. Sedangkan dengan orang Inggris perbedaannya besar sekali, terbukti awal Januari 2003, PBB meluncurkan kampanye zero tolerance atas praktek sunat perempuan. Inggris justru telah mengeluarkan peraturan “FGM Act” yang melarang orang tua membawa anak perempuannya ke luar negeri untuk menjalani sunat. Pelanggarnya diancam hukuman 14 tahun. Menurut perkiraan para ahli, setidaknya 74 ribu wanita dari generasi pertama imigran Afrika di Inggris telah menjalani sunat. (Koran Tempo, 11 Oktober 2006).
2.2.5.3.    Ditinjau dari Aspek Agama
Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi sunat perempuan, namun berdasar yaitu hukumnya sunah atau wajib. Sunat perempuan hukumnya sunah didukung mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Dalil yang digunakan jelas berdasarkan hadis Ibnu Abbas. Kemudian sunat hukumnya wajib baik untuk laki-laki maupun perempuan didukung mazhab Syafii, dengan dalil ayat Al- Q (An-Nahl: 123) dan hadits (As-Syafii dalam kitab Al-Umn yang aslinya dari hadits Aisyah Riwayat Muslim).
Dengan demikian bila ditinjau dari aspek agama, masyarakat yang mengetahui dan memahami dengan jelas dasar hukum sunat perempuan, tidak akan khawatir untuk mengkhitankan bayi perempuannya, meskipun secara simbolis karena tradisi. Hal itu tidak berbahaya secara medical (kesehatan) dan yakin secara agama (jelas/sahih dalilnya). Sunat dilakukan untuk memuliakan perempuan dan sebagai bagian dari fitrah (suci/bersih) asal tidak berlebihan. Keyakinan masyarakat akan sunat perempuan tergantung dari pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Hadits. Sehingga tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran orang tua untuk mengkhitankan bayi perempuannya.
Sunah atau wajib hukumnya sunat perempuan, menjadi pedoman masyarakat Islam umumnya untuk melakukan tindakan tersebut. Meskipun fenomena dari kasus atau isu sunat perempuan diatas merupakan praktek sunat pada perempuan bukan hanya monopoli umat Islam. Hal itu sudah terjadi sejak zaman sebelum Masehi. Misalnya penelitian antropologi mendapatkan praktek tersebut pada mumi Mesir yang justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan rakyat jelata. Ahli Antropologi, Tonag Dwi Ardyanto, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret, dalam situs pribadinya menduga pada zaman kuno sunat dipraktekkan untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina (Koran Tempo, 11 Oktober 2006).
Hal ini terlihat dari Survei Epidemiologi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan beberapa alasan melakukan sunat perempuan, seperti identitas kesukuan, tahap menuju wanita dewasa, prasyarat sebelum menikah, serta pemahaman bahwa klitoris merupakan organ kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan, atau menimbulkan impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan alasan female genital mutilation (FGM), ini kemudian terbukti salah.
2.2.6.   Usaha Pemerintah untuk Menghapus Sunat Perempuan di Indonesia
Berbagai LSM dan organisasi profesi seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memprakarsai suatu lokakarya dimana dipresentasikan penelitian mengenai sunat perempuan. Kesimpulan dari lokakarya ini telah memutuskan untuk mengembangkan bahan advokasi untuk menghapuskan sunat perempuan. Sebagai hasil dari berbagai lokakarya, Departemen Kesehatan mengeluarkan suatu Surat Edaran oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat (bertanggal April 2006), yang didasari oleh kesepakatan bahwa sunat perempuan tidak mempunyai manfaat khusus terhadap kesehatan perempuan. Sunat perempuan juga dapat membahayakan kesehatan seorang anak perempuan dan karenanya disepakati bahwa sunat perempuan tidak boleh dilakukan. Disepakati juga bahwa semua pimpinan organisasi-organisasi profesi harus menyebarluaskan kepada para anggotanya untuk memastikan penghentian semua praktik yang berkaitan dengan sunat perempuan.
Standar untuk pelayanan kebidanan yang diadopsi oleh Departemen Kesehatan dari Standar Pelayanan Kebidanan untuk Safe Motherhood WHO, dengan jelas mengatakan bahwa bidan harus menghindari praktik tradisional yang berbahaya dan mendukung praktik yang baik (Depkes RI, 2006).
Pemerintah Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan  Perempuan, mendukung penuh semua usaha untuk menghapus pelaksanaan sunat pada perempuan, terutama yang merusak organ reproduksi. Karena, hal ini dianggap sebagai salah satu tindak kekerasan terhadap perempuan. Dikatakan pula oleh Menteri Kesehatan dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP (K) bahwa sunat perempuan tidak pernah ada dalam standar pelayanan kesehatan. (Sumber: majalah Ayah-bunda, 2005). Departemen Kesehatan menghimbau kalangan medis untuk tidak menyunat perempuan (www.pdpersi.co.id, 2003).
2.2.7.     Kesenjangan Undang-undang, Peraturan, Kebijakan, Strategi dan Pelaksanaanya
2.2.7.1. Dalam peraturan perundang-undangan
Konvensi Hak Anak, CEDAW, UUD 1945, dan UU Perlindungan Anak menghendaki bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan terhadap diskriminasi”. Namun demikian, saat ini di Indonesia tidak ada peraturan yang secara khusus menangani sunat perempuan sebagai praktik yang berbahaya, meskipun Departemen Kesehatan telah membuat Surat Edaran yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan sunat perempuan.
Di beberapa negara, dimana sunat perempuan banyak dilakukan, telah diterapkan berbagai tindakan hukum dan peraturan untuk menghentikan praktik tersebut. Hal ini berarti perlunya pemberlakuan sanksi hukuman terhadap orang yang melaksanakan atau membantu pelaksanaan sunat perempuan, mengamandemenkan undang-undang perlindungan anak, dan membuat peraturan untuk mencegah medikalisasi praktik tersebut.
Penelitian mengenai Hukum Islam menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan praktik ini, terutama untuk bentuk yang membahayakan tersebut (Depkes RI, 2006).
2.2.7.2.      Hambatan dalam kebijakan, strategi, rencana dan pelaksanaannya
Meskipun proses yang melibatkan berbagai sektor telah dimulai untuk menangani kecenderungan meningkatnya medikalisasi praktik sunat perempuan tersebut, dibutuhkan komitmen tingkat tinggi untuk mendukung disusunnya arahan dan standar yang jelas di sektor kesehatan untuk melarang praktik sunat perempuan yang dilakukan petugas kesehatan (Depkes RI, 2006).
2.2.8.           Rekomendasi untuk Tindakan-tindakan Prioritas
2.2.8.1. Hukum dan Peraturan Perundang-undangan
Surat Keputusan Menteri harus segera diterbitkan untuk meningkatkan efektivitas Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tentang demedikalisasi sunat perempuan oleh petugas kesehatan.
Pihak yang potensial bertanggungjawab
Departemen Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
2.2.8.2.      Kebijakan, strategi, sistem kesehatan
a.         Organisasi-organisasi profesi kesehatan harus didorong untuk memasyarakatkan kebijakan tentang penghapusan sunat perempuan
b.         Tindakan harus segera diambil untuk menghapus layanan sunat perempuan dari paket pelayanan neonatal yang ditawarkan sebagai suatu paket persalinan oleh berbagai rumah sakit, klinik bersalin, praktik bidan maupun pelayanan kesehatan lainnya.
c.         Informasi tentang pemahaman yang benar dari perspektif-perspektif semua agama mengenai sunat perempuan sekaligus tentang konsekuensi kesehatan yang membahayakan dari praktik tersebut harus disebarluaskan dan disosialisasikan secara serentak dan menyeluruh.
Pihak yang potensial bertanggungjawab
Departemen Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, Tokoh-tokoh Agama; Organisasi-organisasi Profesi Kesehatan seperti Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Perhimpunan Perinatal Indonesia (PERINASIA), Persatuan Perawan Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Dokter Indonesi (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
2.2.9.      Penanganan
 Dalam rangka perlindungan hak anak dan hak reproduksi, maka dirasa perlu untuk mengadakan pertemuan yang menetapkan apakah sunat perempuan masih perlu dilanjutkan atau tidak (dilihat dari sudut pandang agama, kesehatan, budaya dan adat istiadat). Apabila secara agama ternyata merupakan keharusan dilaksanakan sunat perempuan, diharapkan agar pelaksanaannya tetap dilaksanakan dengan simbolis, tanpa memotong bagian dari alat kelamin perempuan. Dari rekomendasi dalam Lokakarya Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Perempuan Berkaitan Dengan Praktik Sunat Perempuan Jakarta, 31 Mei 2005 didapatkan hasil:
2.2.9.1.      Mendukung kebijakan Depkes untuk melarang tenaga kesehatan dan sarana kesehatan melakukan sunat perempuan.
2.2.9.2.      Mendesak semua pihak terkait untuk melakukan pendidikan publik tentang resiko sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi.
2.2.9.3.      Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh agama, adat, dan penegak hukum terhadap masalah sunat perempuan.
2.2.9.4.      Memasukkan larangan melakukan sunat perempuan dalam kurikulum pendidikan serta menjelaskan dampak negatifnya.
2.2.9.5.      Mendesak Menkes, Menteri PP, dan Menag untuk minta fatwa MUI yang melarang dilakukannya sunat perempuan.
 Rekomendasi tersebut telah diikuti dengan dikeluarkannya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan oleh Depkes RI, yang mengharapkan agar semua tenaga kesehatan secara tegas menolak permintaan sunat perempuan.
2.2.10.  Penatalaksanaan
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) dalam penatalaksanan dari FGM antara lain:
a.         Menganjurkan anggotanya untuk memberikan informasi tentang FGM dan komplikasinya pada masyarakat.
b.        Memberikan informasi untuk mengenali tanda-tanda fisik dari FGM, waspada terhadap isyu kultur dan etik yang dikaitkan dengan FGM.
c.         Memberikan penjelasan atau edukasi pada pasien yang ingin melakukan FGM.
Penjelasan secara rinci tentang anatomi genital perempuan dan fungsinya, dampak fisik dan psikologis jangka panjang dari tindakan FGM.
d.        Mengurangi  prosedur medik yang diperlukan untuk mengubah alat genital perempuan.
Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktek sunat perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).
Wujudnya berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari luar. Sementara itu, pendekatan multi-facets harus melibatkan pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, mengingat bagaimanapun itu alasan yang mendominasi praktek sunat perempuan di Indonesia, agar diperoleh kesamaan pandangan agama soal sunat perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang diusulkan juga wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat (www.depkes.go.id, 2007).

1 komentar: