Sunat pada Anak Perempuan (FGM/Female Genital
Mutilation)
2.2.1. Pengertian
Definisi FGM
meliputi seluruh prosedur pemotongan sebagian atau seluruh genitalia eksternal
atau bentuk perlukaan lain pada genitalia perempuan, baik untuk alasan budaya
maupun alasan non pengobatan (WHO, 1998). Perubahan bahasa dari sunat perempuan
menjadi FGM dimasukkan pada resolusi ke 46 World Health Assembly (WHA
46:16) sebagai perubahan yang menjadi sunat perempuan dalam isu hak asasi
manusia (WHO, 1998). Resolusi tersebut memaksa negara-negara yang terkait untuk
secara terus menerus memonitor upaya mereka dalam penghapusan segala bentuk
FGM, karena tidak dapat diterima dengan cara pandang apapun (WHO, 1997).
(Kariem E. Z, 2006).
Sunat atau khitan
dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disempurnakan adalah pemotongan kulup
(kulit pada ujung kemaluan laki-laki), sedangkan sunat untuk anak perempuan
tidak disebutkan dalam kamus tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).
Khitan (berasal
dari akar kata arab khatana-yakhtanu-khatnan = memotong). Secara
terminologi pengertian khitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut
Imam al-Mawardi, ulama fikih Mahzab Syafi’I, khitan bagi laki-laki adalah
memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan
khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj yaitu kelentit
atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas
kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi
perempuan disebut khafd. Namun keduanya lazim disebut khitan
(Ensiklopedi Hukum Islam, 1997).
Sunat atau khitan
bagi perempuan dilakukan berbeda-beda, dapat hanya sebatas membasuh ujung
klitoris, menusuk ujung klitoris dengan jarum, membuang sebagian klitoris,
membuang seluruh klitoris dan membuang labia minora (bibir kecil vagina) serta
seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh labia mayora (bibir luar vagina)
dijahit, kecuali sebesar ujung kelingking untuk pembuangan darah menstruasi
(Kariem E. Z, 2006).
Gambar 2.1. Organ Reproduksi Wanita dan
bagian-bagiannya
2.2.2. Tipe-Tipe FGM
WHO mencatat ada 4
tipe female genital mutilation. Berdasarkan tingkat keparahan, ada empat
jenis FGM (WHO, 1998) :
2.2.2.1. Tipe I (Clitoridotomy)
Yaitu eksisi dari
permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau
seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah “hoodectomy”.
2.2.2.2. Tipe II (Clitoridectomy)
Yaitu eksisi klitoris
dengan disertai eksisi sebagian atau total dari labia minora. Tipe yang lebih
ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika
Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.
2.2.2.3. Tipe III (Infundilation)
Yaitu eksisi sebagian atau
seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut
vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar
diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Merupakan
tipe terberat dari FGM. Dikenal juga (Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan
Ala Fir’aun).
2.2.2.4. Tipe IV Tidak terklasifikasi
Termasuk di sini adalah
menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau
insisi klitoris dan atau labia, meregangkan (stretching) klitoris dan
atau vagina, kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya, menggores jaringan
sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri
cut), memasukan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan
darah, menipis dan atau menyempit, serta berbagai macam tindakan yang sesuai
dengan definisi FGM di atas (www.pdpersi.co.id,
2003).
Gambar 2.2. Tipe-tipe Sunat Perempuan
2.2.3. Komplikasi
Beberapa penelitian
menunjukkan adanya komplikasi yang mungkin timbul akibat tindakan sunat pada perempuan (IPPF, 2001)
adalah:
2.2.3.1. Komplikasi Jangka Pendek
Komplikasi
yang bisa segera terjadi adalah nyeri berat, syok (kesakitan karena tanpa
anestesi atau perdarahan), perdarahan, tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi
pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya. Perdarahan massif
dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan alat bersama untuk
beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi
dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis.
2.2.3.2. Komplikasi Jangka Panjang
Dampak jangka
panjang termasuk timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat serta kesulitan
saat melahirkan.
1.
Nyeri berkepanjangan
2.
Kesulitan atau gangguan menstruasi
3.
Infeksi saluran kemih kronis
4.
Fistula (vesico-vagina, recto-vagina)
5.
Inkontinensi (beser)
6.
Radang panggul kronis
7.
Kemandulan disfungsi seksual
8.
Kesulitan saat hamil dan bersalin
9.
Meningkatkan resiko tertular HIV
2.2.3.3. Dampak Psikoseksual, Psikologis dan Sosial
Komplikasi psikologis
dapat terpendam pada alam bawah sadar anak yang bisa menimbulkan gangguan
perilaku. Dari sisi psikologi dan
psikologi seksual, sunat dapat meninggalkan dampak seumur hidup. Hilangnya kepercayaan dan rasa percaya diri dilaporkan
sebagai efek serius yang bisa terjadi. Perempuan dapat mengalami depresi, rasa sakit saat
hubungan seksual, disfungsi seksual, ketegangan, serta rasa rendah diri dan
tidak sempurna.
1.
Syok akibat kehilangan darah
2.
Trauma dari bagian-bagian seputar alat reproduksi
3.
Mengurangi kenikmatan seksual
Nawal El-Saadawi, dokter feminis
Muslim dari Mesir yang menjadi korban infibulasi, dalam bukunya “The Hidden
Face of Eve: Women in the Arab World”, mengkaitkan sunat dengan anggapan
masyarakat tentang pentingnya keperawanan dan utuhnya selaput dara. Dia
membandingkan sunat perempuan dengan kastrasi atau pengebirian para kasim
penjaga harem, yang membuat mereka tidak memiliki gairah seks.
4.
Gangguan psikosomatik (ketakutan, sulit tidur, gangguan konsentrasi, cepat
panik, takut berhubungan seksual atau frigidity)
5.
Konflik dalam perkawinan
Berbeda dengan anak
laki-laki, sunat pada anak perempuan terbukti tidak ada manfaatnya secara
medis. (Tempo Interaktif, 22 Oktober 2006).
2.2.4. Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan
WHO membedakan alasan pelaksanaan FGM
menjadi 5 kelompok, yaitu :
2.2.4.1. Psikoseksual
Diharapkan pemotongan klitoris akan
mengurangi libido pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga
kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan
meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki.
2.2.4.2. Psikologi
Sunat dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, guna
mengurangi gairah seks perempuan, menjaga keperawanan sebelum menikah, dan agar
tetap setia dalam pernikahan.
2.2.4.3. Sosiologi
Melanjutkan tradisi, menghilangkan
hambatan atau kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa,
perekat sosial, lebih terhormat.
2.2.4.4. Hygiene dan estetik
Organ genitalia eksternal dianggap
kotor dan tidak bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan
kebersihan dan keindahan.
2.2.4.5. Mitos
Meningkatkan kesuburan dan daya tahan
anak.
2.2.4.6. Agama
Dianggap sebagai perintah agama, agar
ibadah lebih diterima (www.pdpersi.co.id,
2003).
2.2.5. Aspek-aspek dalam Sunat Perempuan
Dalam sunat
perempuan terdapat aspek-aspek yang berhubungan antara lain:
2.2.5.1. Ditinjau dari Aspek Kesehatan
Dari aspek kesehatan, sunat perempuan
apabila dilakukan berlebihan akan mengandung resiko seperti sayatan, goresan,
dan pemotongan sebagian ataupun seluruh ujung klitoris. Apalagi hal ini
dilakukan oleh dukun atau bidan tradisional. Disamping itu sunat perempuan
dilakukan bila anak masih bayi, karena bila sunat dilakukan ketika anak sudah
besar misalnya berumur 9 tahun selain berbahaya dari segi kesehatan, juga dapat
mendatangkan ketakutan.
Hal tersebut dibuktikan pada sunat
perempuan di kawasan Afrika yang menjadi perdebatan aktivis dan tenaga medis di
Afrika tahun 1960. Di kawasan itu sunat dilakukan dengan benar-benar memotong
bagian genital perempuan, sehingga sering membuat mereka kehabisan darah,
mengalami infeksi, infertile, terkena penyakit pembengkakkan, sakit saat
melahirkan, tidak bisa mengontrol kencingnya, dan tidak bisa menikmati hubungan
seksual. Bahkan dibeberapa negara tak sedikit yang mempraktekkan infibulasi,
yaitu praktek memotong klitoris serta menjahit tepi-tepinya. Dengan menyisakan
sedikit lubang untuk buang air dan haid. Menurut perkiraan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, sekitar 28 juta perempuan Nigeria, 24 juta perempuan Mesir, 23
juta perempuan Ethiopia, dan 12 juta perempuan Sudan dengan sangat terpaksa
telah menjalani sunat ini.
Selain itu pada Konferensi Perempuan
ke empat di Beijing, 1995, juga akhirnya membahas secara formal isu ini.
Menurut Basilica Dyah Putranti dari Center for Population and Policy Studies
Universitas Gajah mada, konferensi itu menyimpulkan sunat perempuan merupakan
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan dapat menjadi ancaman kesehatan
reproduksi.
Sedangkan di Indonesia sunat perempuan
baru menjadi isu dalam lima tahun terakhir. Dalam studi Schrieke pada 1921,
sunat terjadi di Jawa, Makasar, Gorontalo, Pontianak, Lampung, Banjarmasin,
Riau, Padang, Aceh Pulau Kei Ambon dan Pulau Alor, juga suku Sasak di Lombok.
Sunat umumnya dilakukan secara rahasia pada usia sekitar 13 tahun, bahkan
ketika anak baru lahir, atau perempuan muda yang belum menikah dan hamil (Koran
Tempo, 11 Oktober 2006).
2.2.5.2. Ditinjau dari Aspek Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya. Seperti tata cara, dalam
hubungan dengan keluarga, kebiasaan, yang dilakukan dalam suatu hal yang ritual
atau tata krama dan bahasa yang dipergunakan sehari-hari semuanya dipengaruhi
oleh budaya (L. Tubbs dan Moss, 2001: 237).
Perbedaan antara dua kelompok berkisar
pada perbedaan yang kecil hingga perbedaan yang besar. Seperti misalnya budaya
orang-orang Eropa (Inggris) dengan budaya orang Afrika (Ethiopia, Sudan,
Nigeria) sedikit saja persamaannya dengan budaya Asia (Indonesia, Beijing).
Misalnya orang Indonesia, umumnya masyarakatnya melakukan sunat perempuan saat
anak masih bayi secara simbolis (sesuai dengan tradisi masing-masing daerah dan
berdasarkan agama yang diyakininya). Akan sama dengan orang-orang Sudan atau
Nigeria. Sedangkan dengan orang Inggris perbedaannya besar sekali, terbukti
awal Januari 2003, PBB meluncurkan kampanye zero tolerance atas praktek
sunat perempuan. Inggris justru telah mengeluarkan peraturan “FGM Act”
yang melarang orang tua membawa anak perempuannya ke luar negeri untuk
menjalani sunat. Pelanggarnya diancam hukuman 14 tahun. Menurut perkiraan para
ahli, setidaknya 74 ribu wanita dari generasi pertama imigran Afrika di Inggris
telah menjalani sunat. (Koran Tempo, 11 Oktober 2006).
2.2.5.3. Ditinjau dari Aspek Agama
Meskipun para ulama berbeda pendapat
dalam menanggapi sunat perempuan, namun berdasar yaitu hukumnya sunah atau
wajib. Sunat perempuan hukumnya sunah didukung mazhab Hanafi, Maliki dan
Hambali. Dalil yang digunakan jelas berdasarkan hadis Ibnu Abbas. Kemudian
sunat hukumnya wajib baik untuk laki-laki maupun perempuan didukung mazhab
Syafii, dengan dalil ayat Al- Q (An-Nahl: 123) dan hadits (As-Syafii dalam
kitab Al-Umn yang aslinya dari hadits Aisyah Riwayat Muslim).
Dengan demikian bila ditinjau dari
aspek agama, masyarakat yang mengetahui dan memahami dengan jelas dasar hukum
sunat perempuan, tidak akan khawatir untuk mengkhitankan bayi perempuannya,
meskipun secara simbolis karena tradisi. Hal itu tidak berbahaya secara medical
(kesehatan) dan yakin secara agama (jelas/sahih dalilnya). Sunat dilakukan
untuk memuliakan perempuan dan sebagai bagian dari fitrah (suci/bersih) asal
tidak berlebihan. Keyakinan masyarakat akan sunat perempuan tergantung dari
pemahaman mereka terhadap Qur’an dan Hadits. Sehingga tidak ada lagi ketakutan
dan kekhawatiran orang tua untuk mengkhitankan bayi perempuannya.
Sunah atau wajib hukumnya sunat
perempuan, menjadi pedoman masyarakat Islam umumnya untuk melakukan tindakan
tersebut. Meskipun fenomena dari kasus atau isu sunat perempuan diatas
merupakan praktek sunat pada perempuan bukan hanya monopoli umat Islam. Hal itu
sudah terjadi sejak zaman sebelum Masehi. Misalnya penelitian antropologi
mendapatkan praktek tersebut pada mumi Mesir yang justru ditemukan pada
kalangan kaya dan berkuasa, bukan rakyat jelata. Ahli Antropologi, Tonag Dwi
Ardyanto, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret, dalam
situs pribadinya menduga pada zaman kuno sunat dipraktekkan untuk mencegah masuknya
roh jahat melalui vagina (Koran Tempo, 11 Oktober 2006).
Hal ini terlihat dari Survei
Epidemiologi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan beberapa alasan melakukan
sunat perempuan, seperti identitas kesukuan, tahap menuju wanita dewasa,
prasyarat sebelum menikah, serta pemahaman bahwa klitoris merupakan organ
kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan, atau menimbulkan
impotensi bagi pasangannya. Banyak hal medis terkait dengan alasan female
genital mutilation (FGM), ini kemudian terbukti salah.
2.2.6. Usaha Pemerintah untuk Menghapus Sunat
Perempuan di Indonesia
Berbagai LSM dan
organisasi profesi seperti Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memprakarsai suatu
lokakarya dimana dipresentasikan penelitian mengenai sunat perempuan.
Kesimpulan dari lokakarya ini telah memutuskan untuk mengembangkan bahan
advokasi untuk menghapuskan sunat perempuan. Sebagai hasil dari berbagai
lokakarya, Departemen Kesehatan mengeluarkan suatu Surat Edaran oleh Direktur
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat (bertanggal April 2006), yang didasari oleh
kesepakatan bahwa sunat perempuan tidak mempunyai manfaat khusus terhadap kesehatan
perempuan. Sunat perempuan juga dapat membahayakan kesehatan seorang anak
perempuan dan karenanya disepakati bahwa sunat perempuan tidak boleh dilakukan.
Disepakati juga bahwa semua pimpinan organisasi-organisasi profesi harus menyebarluaskan
kepada para anggotanya untuk memastikan penghentian semua praktik yang
berkaitan dengan sunat perempuan.
Standar untuk
pelayanan kebidanan yang diadopsi oleh Departemen Kesehatan dari Standar Pelayanan
Kebidanan untuk Safe Motherhood WHO, dengan jelas mengatakan bahwa bidan
harus menghindari praktik tradisional yang berbahaya dan mendukung praktik yang
baik (Depkes RI, 2006).
Pemerintah
Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, mendukung penuh semua usaha untuk
menghapus pelaksanaan sunat pada perempuan, terutama yang merusak organ
reproduksi. Karena, hal ini dianggap sebagai salah satu tindak kekerasan
terhadap perempuan. Dikatakan pula oleh Menteri Kesehatan dr. Siti Fadilah
Supari, Sp. JP (K) bahwa sunat perempuan tidak pernah ada dalam standar
pelayanan kesehatan. (Sumber: majalah Ayah-bunda, 2005). Departemen Kesehatan
menghimbau kalangan medis untuk tidak menyunat perempuan (www.pdpersi.co.id,
2003).
2.2.7. Kesenjangan Undang-undang, Peraturan,
Kebijakan, Strategi dan Pelaksanaanya
2.2.7.1.
Dalam peraturan perundang-undangan
Konvensi Hak Anak, CEDAW, UUD 1945,
dan UU Perlindungan Anak menghendaki bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan terhadap diskriminasi”. Namun demikian, saat ini di Indonesia
tidak ada peraturan yang secara khusus menangani sunat perempuan sebagai
praktik yang berbahaya, meskipun Departemen Kesehatan telah membuat Surat
Edaran yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, tentang
pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan
sunat perempuan.
Di beberapa negara, dimana sunat perempuan
banyak dilakukan, telah diterapkan berbagai tindakan hukum dan peraturan untuk
menghentikan praktik tersebut. Hal ini berarti perlunya pemberlakuan sanksi
hukuman terhadap orang yang melaksanakan atau membantu pelaksanaan sunat
perempuan, mengamandemenkan undang-undang perlindungan anak, dan membuat peraturan
untuk mencegah medikalisasi praktik tersebut.
Penelitian mengenai Hukum Islam
menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan praktik ini, terutama
untuk bentuk yang membahayakan tersebut (Depkes RI, 2006).
2.2.7.2. Hambatan dalam kebijakan, strategi, rencana
dan pelaksanaannya
Meskipun proses yang melibatkan
berbagai sektor telah dimulai untuk menangani kecenderungan meningkatnya
medikalisasi praktik sunat perempuan tersebut, dibutuhkan komitmen tingkat
tinggi untuk mendukung disusunnya arahan dan standar yang jelas di sektor
kesehatan untuk melarang praktik sunat perempuan yang dilakukan petugas
kesehatan (Depkes RI, 2006).
2.2.8.
Rekomendasi untuk Tindakan-tindakan Prioritas
2.2.8.1. Hukum dan Peraturan
Perundang-undangan
Surat Keputusan Menteri harus segera
diterbitkan untuk meningkatkan efektivitas Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat tentang demedikalisasi sunat perempuan oleh petugas kesehatan.
Pihak yang potensial bertanggungjawab
Departemen Kesehatan, Kementrian
Pemberdayaan Perempuan.
2.2.8.2. Kebijakan, strategi, sistem kesehatan
a.
Organisasi-organisasi profesi kesehatan harus didorong untuk
memasyarakatkan kebijakan tentang penghapusan sunat perempuan
b.
Tindakan harus segera diambil untuk menghapus layanan sunat perempuan dari
paket pelayanan neonatal yang ditawarkan sebagai suatu paket persalinan oleh
berbagai rumah sakit, klinik bersalin, praktik bidan maupun pelayanan kesehatan
lainnya.
c.
Informasi tentang pemahaman yang benar dari perspektif-perspektif semua
agama mengenai sunat perempuan sekaligus tentang konsekuensi kesehatan yang
membahayakan dari praktik tersebut harus disebarluaskan dan disosialisasikan
secara serentak dan menyeluruh.
Pihak yang
potensial bertanggungjawab
Departemen
Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Agama, Tokoh-tokoh Agama; Organisasi-organisasi Profesi Kesehatan
seperti Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Perhimpunan
Perinatal Indonesia (PERINASIA), Persatuan Perawan Nasional Indonesia (PPNI),
Ikatan Dokter Indonesi (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Ikatan
Bidan Indonesia (IBI).
2.2.9. Penanganan
Dalam rangka perlindungan hak anak dan hak reproduksi,
maka dirasa perlu untuk mengadakan pertemuan yang menetapkan apakah sunat
perempuan masih perlu dilanjutkan atau tidak (dilihat dari sudut pandang agama,
kesehatan, budaya dan adat istiadat). Apabila secara agama ternyata merupakan
keharusan dilaksanakan sunat perempuan, diharapkan agar pelaksanaannya tetap
dilaksanakan dengan simbolis, tanpa memotong bagian dari alat kelamin
perempuan. Dari rekomendasi dalam Lokakarya Pencegahan dan Penanggulangan
Kekerasan Terhadap Perempuan Berkaitan Dengan Praktik Sunat Perempuan Jakarta,
31 Mei 2005 didapatkan hasil:
2.2.9.1.
Mendukung kebijakan Depkes untuk melarang
tenaga kesehatan dan sarana kesehatan melakukan sunat perempuan.
2.2.9.2.
Mendesak semua pihak terkait untuk melakukan
pendidikan publik tentang resiko sunat perempuan merupakan pelanggaran hak
asasi.
2.2.9.3.
Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh
agama, adat, dan penegak hukum terhadap masalah sunat perempuan.
2.2.9.4.
Memasukkan larangan melakukan sunat perempuan
dalam kurikulum pendidikan serta menjelaskan dampak negatifnya.
2.2.9.5.
Mendesak Menkes, Menteri PP, dan Menag untuk
minta fatwa MUI yang melarang dilakukannya sunat perempuan.
Rekomendasi tersebut telah diikuti dengan
dikeluarkannya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi
petugas kesehatan oleh Depkes RI, yang mengharapkan agar semua tenaga kesehatan
secara tegas menolak permintaan sunat perempuan.
2.2.10. Penatalaksanaan
Menurut The American
Academy of Pediatrics (AAP) dalam penatalaksanan dari FGM antara lain:
a.
Menganjurkan anggotanya untuk memberikan informasi tentang FGM dan
komplikasinya pada masyarakat.
b.
Memberikan informasi untuk mengenali tanda-tanda fisik dari FGM, waspada
terhadap isyu kultur dan etik yang dikaitkan dengan FGM.
c.
Memberikan penjelasan atau edukasi pada pasien yang ingin melakukan FGM.
Penjelasan secara rinci tentang
anatomi genital perempuan dan fungsinya, dampak fisik dan psikologis jangka
panjang dari tindakan FGM.
d.
Mengurangi prosedur medik yang
diperlukan untuk mengubah alat genital perempuan.
Tetapi European
Journal of Obstetrics and Gynecology bulan Oktober 2004 lalu menganalisa
bahwa usaha terbaik untuk mengatasi praktek sunat perempuan harus berupa
pendekatan yang non-direktif, sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).
Wujudnya berfokus
pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi praktek FGM,
dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan atas program dari
luar. Sementara itu, pendekatan multi-facets harus melibatkan
pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, mengingat bagaimanapun itu alasan
yang mendominasi praktek sunat perempuan di Indonesia, agar diperoleh kesamaan
pandangan agama soal sunat perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang
diusulkan juga wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat (www.depkes.go.id,
2007).
boleh tau referensi bukunya?
BalasHapus